Memperdagangkan Opini Audit
Pada minggu ini ada peristiwa penting yang tenggelam oleh kasus video
mesum mirip Ariel-Luna-Cut Tari. Peristiwa tersebut adalah tertangkapnya
auditor BPK Perwakilan Jawa Barat yang sedang menerima ”suap” sebesar
Rp 200 juta dari oknum pejabat pemerintah kota Bekasi. Suap tersebut
diduga terkait permintaan oknum pejabat pemerintah kota Bekasi agar
laporan keuangannya yang sedang diaudit Tim BPK mendapat opini wajar
tanpa syarat atau wajar tanpa pengecualian (WTP).
Ada tiga macam opini atas laporan keuangan suatu instansi pemerintah
atau perusahaan. Opini yang paling baik adalah WTP(Unqualified Opinion).
Opini terbaik kedua adalah Wajar Dengan Pengecualian (Qualified
Opinion). Sedangkan opini paling jelek adalah Tidak Wajar (Adverse
Opinion), yaitu auditor meyakini bahwa laporan keuangan yang sedang
diauditnya banyak mengandung kesalahan yang material. Dengan kata lain,
laporan keuangan tersebut tidak menggambarkan kondisi keuangan yang
sebenarnya. Di samping ketiga opini tersebut, auditor kadang juga “Tidak
Memberikan Pendapat” (
Disclaimer Opinion). Hal ini disebabkan
karena auditor tidak bisa memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk
bisa memberikan opini apakah laporan sudah disajikan dengan benar atau
salah.
Dugaan suap untuk mendapatkan opini WTP di atas menimbulkan spekulasi
bermacam-macam terkait kewajaran laporan keuangan perusahaan atau suatu
instansi pemerintah. Penyakit kronis yang bernama korupsi di instansi
pemerintah sudah menjadi rahasia umum. Oleh karena itu publik sering
kurang percaya jika suatu instansi pemerintah mempunyai laporan keuangan
yang baik (WTP). Tertangkapnya auditor BPK tersebut menggambarkan
adanya negosiasi atau perdagangan opini audit atas laporan keuangan.
Pengelolaan keuangan negara/daerah lewat APBN/APBD diduga banyak
digunakan untuk keperluan yang tidak sesuai dengan tujuannya. Tidak
heran jika muncul dugaan adanya kebocoran 30% dari total dana yang ada
di APBN/APBD. Sejauh ini, tidak ada satu pihak pun yang membantahnya,
meskipun secara yuridis, kebocoran 30% dana APBN/APBD tersebut sulit
dibuktikan, namun publik bisa merasakannya. Anehnya kondisi pengelolaan
APBN/APBD di instansi pemerintah yang terkenal kacau-balau tersebut
(banyak kebocorannya), tidak sedikit diantara instansi pemerintah
tersebut yang laporan keuangannya mendapat opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP). Wajar jika publik mencurigai adanya permainan
dibalik opini WTP tersebut Oleh karena itu, tertangkapnya auditor BPK
yang sedang melakukan negosiasi terkait opini laporan keuangan
pemerintah kota Bekasi, seolah membenarkan kecurigaan publik tersebut.
Bagaimana dengan di perusahaan swasta?
Berbagai kasus yang terjadi di dunia maupun di Indonesia menunjukkan
bahwa perusahaan swasta juga sering melakukan manipulasi pada laporan
keuangannya. Publik mungkin juga belum lupa bahwa Enron Energy
(perusahaan terbesar ketujuh di AS), WorldCom, Xerox, AOL (America
Online), dan Vivendi Universal (pemilik Universal Studio) terbukti telah
memanipulasi laporan keuangannya. Repotnya, manipulasi laporan keuangan
tersebut dibantu oleh kantor akuntan publik nomor satu di dunia (masuk
jajaran “The Big Five”), yaitu Arthur Andersen KPMG dan
PriceWaterhouseCoopers. Kasus Gayus secara tidak langsung juga
menyiratkan adanya amanipulasi laporan keuangan perusahaan-perusahan
besar di Indonesia milik Aburizal Bakrie seperti PT Bumi Resources, PT
KPC, dan Arutmin (dugaan manipulasi laporan keuangan agar bisa membayar
pajak lebih rendah dari yang seharusnya). Publik juga belum lupa
bagaimana Vincentius Amin Sutanto, mantan
controller di Asian
Agri Grup (perusahaan mantan orang terkaya di Indonesia) mengakui telah
merekayasa laporan keuangan perusahaannya sehingga menimbulkan kurang
bayar pajak lebih kurang Rp 1,3 triliun.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa suatu perusahaan biasanya membuat 3
versi laporan keuangan. Pertama adalah laporan keuangan riil yang
menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya (aset, hutang, modal,
pendapatan, laba, biaya, dst disajikan sesuai kenyataan). Laporan versi
pertama ini dipergunakan manajemen untuk evaluasi internal dan alat
untuk perencanaan bisnis ke depan. Kedua adalah laporan keuangan untuk
konsumsi perpajakan. Untuk itu, biasanya terdapat banyak manipulasi atas
laporan keuangan tersebut yang bahasa kerennya disebut ”
window dressing”,
misalnya dengan merendahkan pendapatan dan/atau meninggikan biaya
sehingga laba yang diperoleh lebih kecil dari seharusnya. Dengan
demikian pajak yang harus dibayar kepada pemerintah menjadi lebih kecil.
Ketiga, laporan keuangan dibuat untuk konsumsi perbankan dalam rangka
mendapatkan kredit. Di sini biasanya pendapatan ditinggikan dan biaya
direndahkan agar laba terlihat tinggi serta aset (harta) dinaikkan.
Dengan demikian diharapkan perusahaan mendapatkan kredit yang
sebesar-besarnya untuk modal perusahaan.
Manipulasi (
fraud) atas laporan keuangan di atas, tidak mudah
ditemukan oleh auditor, apalagi jika jenis auditnya bukan audit khusus
(audit investigatif). Bahkan seperti digambarkan di atas, auditor
berperan dalam merekayasa laporan keuangan tersebut baik secara langsung
(berperan sebagai konsultan keuangan dan menjadi pelaku manipulasi
laporan keuangan tersebut) atau secara tidak langsung dengan cara
membiarkan manipulasi tersebut (dengan imbalan uang) atau bahkan
”membisniskan” temuan (memperdagangkan temuan auditnya). Hal ini
merupakan salah satu bentuk kejahatan kerah putih (
white collar crime).
Sebuah kejahatan yang melibatkan orang-orang pintar, namun bermoral
rendah. Sangat sulit pembuktian adanya kejahatan kerah putih. Oleh
karena itu penangkapan auditor BPK oleh KPK hari senin yang lalu atau
penyidikan kasus Gayus harus dilakukan secara terus-menerus agar
kejahatan kerah putih khususnya perdagangan opini audit seperti
digambarkan di atas dapat dikurangi semaksimal mungkin.