widget

Kamis, 18 September 2014

Memperdagangkan Opini Audit

Photobucket 

 

Pada minggu ini ada peristiwa penting yang tenggelam oleh kasus video mesum mirip Ariel-Luna-Cut Tari. Peristiwa tersebut adalah tertangkapnya auditor BPK Perwakilan Jawa Barat yang sedang menerima ”suap” sebesar Rp 200 juta dari oknum pejabat pemerintah kota Bekasi. Suap tersebut diduga terkait permintaan oknum pejabat pemerintah kota Bekasi agar laporan keuangannya yang sedang diaudit Tim BPK mendapat opini wajar tanpa syarat atau wajar tanpa pengecualian (WTP).
Ada tiga macam opini atas laporan keuangan suatu instansi pemerintah atau perusahaan. Opini yang paling baik adalah WTP(Unqualified Opinion). Opini terbaik kedua adalah Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion). Sedangkan opini paling jelek adalah Tidak Wajar (Adverse Opinion), yaitu auditor meyakini bahwa laporan keuangan yang sedang diauditnya banyak mengandung kesalahan yang material. Dengan kata lain, laporan keuangan tersebut tidak menggambarkan kondisi keuangan yang sebenarnya. Di samping ketiga opini tersebut, auditor kadang juga “Tidak Memberikan Pendapat” (Disclaimer Opinion). Hal ini disebabkan karena auditor tidak bisa memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk bisa memberikan opini apakah laporan sudah disajikan dengan benar atau salah.
Dugaan suap untuk mendapatkan opini WTP di atas menimbulkan spekulasi bermacam-macam terkait kewajaran laporan keuangan perusahaan atau suatu instansi pemerintah. Penyakit kronis yang bernama korupsi di instansi pemerintah sudah menjadi rahasia umum. Oleh karena itu publik sering kurang percaya jika suatu instansi pemerintah mempunyai laporan keuangan yang baik (WTP). Tertangkapnya auditor BPK tersebut menggambarkan adanya negosiasi atau perdagangan opini audit atas laporan keuangan.
Pengelolaan keuangan negara/daerah lewat APBN/APBD diduga banyak digunakan untuk keperluan yang tidak sesuai dengan tujuannya. Tidak heran jika muncul dugaan adanya kebocoran 30% dari total dana yang ada di APBN/APBD. Sejauh ini, tidak ada satu pihak pun yang membantahnya, meskipun secara yuridis, kebocoran 30% dana APBN/APBD tersebut sulit dibuktikan, namun publik bisa merasakannya. Anehnya kondisi pengelolaan APBN/APBD di instansi pemerintah yang terkenal kacau-balau tersebut (banyak kebocorannya), tidak sedikit diantara instansi pemerintah tersebut yang laporan keuangannya mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Wajar jika publik mencurigai adanya permainan dibalik opini WTP tersebut Oleh karena itu, tertangkapnya auditor BPK yang sedang melakukan negosiasi terkait opini laporan keuangan pemerintah kota Bekasi, seolah membenarkan kecurigaan publik tersebut. Bagaimana dengan di perusahaan swasta?
Berbagai kasus yang terjadi di dunia maupun di Indonesia menunjukkan bahwa perusahaan swasta juga sering melakukan manipulasi pada laporan keuangannya. Publik mungkin juga belum lupa bahwa Enron Energy (perusahaan terbesar ketujuh di AS), WorldCom, Xerox, AOL (America Online), dan Vivendi Universal (pemilik Universal Studio) terbukti telah memanipulasi laporan keuangannya. Repotnya, manipulasi laporan keuangan tersebut dibantu oleh kantor akuntan publik nomor satu di dunia (masuk jajaran “The Big Five”), yaitu Arthur Andersen KPMG dan PriceWaterhouseCoopers. Kasus Gayus secara tidak langsung juga menyiratkan adanya amanipulasi laporan keuangan perusahaan-perusahan besar di Indonesia milik Aburizal Bakrie seperti PT Bumi Resources, PT KPC, dan Arutmin (dugaan manipulasi laporan keuangan agar bisa membayar pajak lebih rendah dari yang seharusnya). Publik juga belum lupa bagaimana Vincentius Amin Sutanto, mantan controller di Asian Agri Grup (perusahaan mantan orang terkaya di Indonesia) mengakui telah merekayasa laporan keuangan perusahaannya sehingga menimbulkan kurang bayar pajak lebih kurang Rp 1,3 triliun.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa suatu perusahaan biasanya membuat 3 versi laporan keuangan. Pertama adalah laporan keuangan riil yang menggambarkan kondisi perusahaan yang sebenarnya (aset, hutang, modal, pendapatan, laba, biaya, dst disajikan sesuai kenyataan). Laporan versi pertama ini dipergunakan manajemen untuk evaluasi internal dan alat untuk perencanaan bisnis ke depan. Kedua adalah laporan keuangan untuk konsumsi perpajakan. Untuk itu, biasanya terdapat banyak manipulasi atas laporan keuangan tersebut yang bahasa kerennya disebut ”window dressing”, misalnya dengan merendahkan pendapatan dan/atau meninggikan biaya sehingga laba yang diperoleh lebih kecil dari seharusnya. Dengan demikian pajak yang harus dibayar kepada pemerintah menjadi lebih kecil. Ketiga, laporan keuangan dibuat untuk konsumsi perbankan dalam rangka mendapatkan kredit. Di sini biasanya pendapatan ditinggikan dan biaya direndahkan agar laba terlihat tinggi serta aset (harta) dinaikkan. Dengan demikian diharapkan perusahaan mendapatkan kredit yang sebesar-besarnya untuk modal perusahaan.
Manipulasi (fraud) atas laporan keuangan di atas, tidak mudah ditemukan oleh auditor, apalagi jika jenis auditnya bukan audit khusus (audit investigatif). Bahkan seperti digambarkan di atas, auditor berperan dalam merekayasa laporan keuangan tersebut baik secara langsung (berperan sebagai konsultan keuangan dan menjadi pelaku manipulasi laporan keuangan tersebut) atau secara tidak langsung dengan cara membiarkan manipulasi tersebut (dengan imbalan uang) atau bahkan ”membisniskan” temuan (memperdagangkan temuan auditnya). Hal ini merupakan salah satu bentuk kejahatan kerah putih (white collar crime). Sebuah kejahatan yang melibatkan orang-orang pintar, namun bermoral rendah.  Sangat sulit pembuktian adanya kejahatan kerah putih. Oleh karena itu penangkapan auditor BPK oleh KPK hari senin yang lalu atau penyidikan kasus Gayus harus dilakukan secara terus-menerus agar kejahatan kerah putih khususnya perdagangan opini audit seperti digambarkan di atas dapat dikurangi semaksimal mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar